Aktivis sekaligus eks tapol Papua, Surya Anta. (CNN Indonesia/Michael Josua Stefanus).
Surya Anta Aktivis Papua, membagikan pengalamannya selama berada di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Jakarta Pusat, setelah bebas dari penjara usai menjalani masa hukuman atas vonis pidana makar sejak Agustus 2019 lalu. Setelah keluar, eks tapol Papua itu membagikan pengalamannya.
Cerita ebobrokan Rutan Salemba itu ia ungkap lewat Twitter. Di hari pertama masuk Rutan Salemba, ia bersama rekan-rekannya langsung mengalami pemalakan dari tahanan lama. Angkanya bervariasi, ia dipalak sebesar Rp1 juta. Sementara rekannya lain dimintai uang sebesar Rp. 3 juta.
"Akhirnya kami ber 5 bayar 500 ribu setelah tahanan lain tahu kami aktivis bukan anak pejabat," kata Surya dalam akun Twitter resminya @Suryaanta, kemarin.
Surya bersama rekannya, Ambros, Dano, Isay, dan Charles awalnya ditempatkan di ruang penampungan atau ruangan masa pengenalan lingkungan (mapaling) di Rutan Salemba. Mapaling merupakan hal biasa dilakukan sebelum ditempatkan ke kamar tahanan.
Mereka mendiami ruangan mapaling selama sebulan atau selama 18 November-19 Desember 2019 bersama ratusan tahanan lainnya.
Surya mengungkapkan kondisi ruang penampungan itu tak manusiawi. Saat itu terdapat 410 tahanan yang dikumpulkan dalam satu ruangan yang tak terlalu besar.
Tak jarang, para tahanan harus mengatur posisi badan dalam posisi miring agar bisa tidur dengan nyenyak. Tak cuma itu, air yang tersedia di penampungan juga tak layak minum.
"Toilet cuma 2. tahanan tidur kaya ikan dijejer, tak jarang agar bisa tidur badan miring. Airnya berasa ada yang lengket. Para tahanan jadi sakit tenggorokan," kata Surya disertai dengan foto yang diunggahnya. Tampak juga sekitar ratusan tahanan tidur berjejer berhimpitan satu sama lain.
Selain itu, Surya turut menemukan praktik jual-beli narkotika lazim ditemukan di Rutan Salemba. Bahkan, ia menyaksikan sendiri para tahanan yang menjadi bandar bebas berkeliaran menjajakan narkotika seperti sabu dan ganja kepada para tahanan lainnya.
Ia bahkan menyatakan tindakan tersebut diketahui dan tak digubris oleh para penjaga rutan.
Pernah saya diteriaki PSK (Penjual Sabu Keliling) dari lantai 2 blok A atau Blok B, "Om Kribo, doyan sabu gak? Atau Ganja?" Lalu gue jawab " Gak, gue gak mau Sabu atau Ganja, gue maunya Ngentot!"..dan si Penjual Sabu Keliling pun tertawa.
Setelah berada selama sebulan di 'barak' penampungan Rutan, Surya bersama rekan-rekannya dipindahkan ke Blok J Rutan Salemba kamar 18. Mereka dipindah setelah ada tekanan dari rekannya sesama aktivis yang berjuang dari luar penjara.
Saat menempati kamar 18, Surya terkejut lantaran bersebelahan dengan kamar yang disebutnya sebagai 'apotek', yakni tempat pembuatan dan produksi sabu.
"Kamar atas belakang Dano itu adalah Kamar "Apotik", kamar penjualan Sabu. Petugas tahu soal ini. Heran kenapa kami ditempatkan di kamar J18 yg ada apotik sabu," kata dia.
Kami berlima di tempatkan di blok J sel kamar 18 (J18). Sel ini dijadikan 3 kamar. 1 kamar dibawah. 2 kamar di atas. Kamar atas belakang Dano itu adalah Kamar "Apotik", kamar penjualan Sabu. Petugas tahu soal ini. Heran kenapa kami ditempatkan di kamar J18 yg ada apotik sabu.
Surya sendiri turut mengunggah beberapa dokumentasi foto yang diambilnya sendiri yang diambil dengan ponsel. Sambil berseloroh, ia menyatakan keberadaan ponsel pintar sudah lazim ditemui di Rutan Salemba.
"Oh ya, kenapa bisa ada dokumentasi ini bisa ada. karena di rutan jual beli & servis HP ada. Bisnis narkoba lancar. Bisnis transfer & terima uang kiriman juga lancar. Warung makanan ada. Petugas tahu itu. Jual beli parfum ada. Yang gak ada prostitusi, sebemhm 2016 kata para Napi lama ada," kata Surya.
Selain itu, Surya juga mengungkapkan fenomena praktik jual beli kamar oleh oknum di Rutan Salemba. Ia menyebutnya dengan sebutan uang 'tiket masuk kamar'. Ia menyatakan praktik tersebut terjadi ketika narapidana menyetor sejumlah uang untuk menempati kamar tahanan tertentu.
Alhasil, terjadi strata atau kelas sosial di dalam penjara. Surya menyebut para tahanan yang tak memiliki uang terpaksa tidur di lorong-lorong karena tak mampu membayar 'tiket masuk kamar'.
Sementara, bagi narapidana yang memiliki cukup uang bisa menempati ruang tahanan di Blok O yang ditaksir mencapai harga 'sewa' Rp50-70 juta.
"Napi Kaya, koruptor misalnya, bisa beli kamar di Blok O seharga 50-70 juta. belum uang Mingguannya. Gak perlu masuk Penampungan atau Mapenaling dulu kayak kami selama 1 bulan. Bahkan Napi dari blok lain gak bisa main2 ke Blok O ini," kata Surya.
Setelah 1 blm di barak penampungan. Kami turun blok. Kami di blok J. Kamar 18. Itu pun stlh ada tekanan dr teman2 diluar. Banyak tahanan dan napi tidur di lorong krn gak punya uang untuk "tiket" masuk kamar dan bayar uang Mingguan kamar. Beginilah situasi di lorong blok .
Surya mengakui mengalami keterbatasan yang sangat selama menjalani masa hukuman di rutan Salemba. Ia menyatakan selama ini negara tak menanggung semua kebutuhan para narapidana di penjara.
Ia menyatakan pelbagai bahan pokok hanya disediakan oleh pihak rutan dengan jumlah yang sangat sedikit. Melihat hal itu, ia bersama rekannya sesama tapol Papua harus memasak dan membeli lauk pauk menggunakan uang sendiri.
"Air juga kami beli sendiri. Galonnya juga beli. Kalau ada kerusakan listrik bayar pakai uang sendiri. Tahanan lain bayar uang kamar dan bayar uang mingguan. Kami tidak bayar karena pihak Penjara khawatir dengan tekanan publik atas kami. Dan lobby kawan-kawan agar kami tak tidur di lorong," kata Surya.